BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Pengertian
Dalam kamus besar bahasa indonesia diam memiliki tiga arti yaitu tidak bersuara (tidak berbicara) tidak berbuat (tidak berusaha apa-apa) dan tidak bergerak (tetap ditempat). Dan dalam diam seseorangpun diduga memiliki tiga maksud setuju, tidak setuju ataupun tidak perduli. Yang pasti apapun sikap kita itu pasti mengandung konsekuensi. Ada golongan orang tertentu,selalu bersikap diam dan pasif dalam kehidupan tak bisa terlihat jelas dalam raut wajahnya kesedihan atau kebahagian. Semua terlihat datar tertutupi oleh sikap diamnya, tapi ada juga golongan orang yang selalu ingin mengatakan apa saja yang terlintas di hati dan kepalanya, reaksi kesedihan atau kebahagian terlihat nyata bahkan disertai pernyataan tentang suasana hatinya. Ada juga diam yang memiliki unsur protes atau ketidak sukaan terhadap sesuatu misalnya seorang suami atau istri yang tidak menyukai sikap atau perbuatan pasangannya menanggapinya dengan sikap diam dan tentu saja diam yang seperti ini pada akhirnya akan membawa keburukkan buat hubungan mereka itu, apalagi diam yang disertai rasa amarah sungguh bukan hal yang bijaksana untuk dilakukan. Ada juga pernyataan lebih baik diam daripada terus bicara tetapi tanpa makna atau manfaat, akan tetapi bila kita diam melihat kemaksiatan, ketidakadilan, kemunafikan, penindasan atau kemungkaran. Sesungguhnya itu adalah salah besar, artinya tak perduli atau cuek dan tak mau ambil pusing dengan keadaan lingkungan sekelilingnya, dan dapat dipastikan type insani seperti ini biasanya hanya menjadi duri dan benalu yang lebih memikirkan diri sendiri ketimbang hajat hidup orang banyak.
Antara diam dan banyak bicara, tidak bisa dibilang salah satu lebih penting, atau masih relevan tidaknya. Yang lebih susah terkadang ialah bukan harus diam atau bicara nya, melainkan dapat mengetahui kapan harus diam dan kapan perlu berbicara. Terlalu banyak bicara (asal berkoar, tanpa dasar yang benar) sama negatifnya dengan selalu menutup mulut (padahal perlu untuk menyuarakan sesuatu yang benar).
Kata orang-orang bijak, diam selalu mengandung berjuta makna. Bisa positif, tapi lebih sering negatif, entah marah, kecewa, atau putus asa. Diam biasanya adalah jalan terakhir untuk bersuara, ketika berkata tidak lagi bermakna. Banyak orang melabelisasikan kepada sesama-Nya, bahwa orang itu diam-diam sambuk artinya orang itu diam-diam menghanyutkan.
Di dunia, bahwa renungan berasal dari kata renung artinya diam-diam memikirkan sesuatu dengan dalam-dalam. Diam dengan diam membuat banyak orang salah tingkah, tetapi diam itu juga bisa dibilang “emas” tetapi kata “emas“nya itu artinya juga kadang nggak tahu. Diam itu juga kadang berarti setuju misalnya jika seorang wanita dilamar karena malu mengatakan “iya” jadi hanya diam dan tertunduk.Tetapi “diam” juga bisa diartikan ketidaksetujuan seperti yang pernah saya liat di televisi yang lagi “demo”atas ketidakbijakan pemerintah seperti mogok bicara,makan dan sebagainya.Karena definisi diam itu tidak hanya mogok bicara tetapi tidak melakukan apapun itu bisa di sebut “diam” betul kan? “If you have nothing good to say, then say nothing” yah daripada banyak bicara mengumbar kejelekan lebih baik “Diam”. “Silent is the mother of truth~Benjamin D”
Diam itu indah, bila sedang serius bekerja, dan ketika kita sedang sakit gigi atau sakit kepala. Diam memiliki makna yang lain ketika dalam keramaian dan satu orang berteriak sangat keras kata "diaaammm!!!", pasti spontan semua orang akan bertanya-tanya dan menghentikan semua pembicaraan. artinya yang sangat dalam...Tapi ada juga orang yang sering diledekin dan menjadi bahan cemoohan orang lain, yang mengatakan kata yang sama diaaammm!!!... bukanya pada diam tetapi semakin seru dan semakin menjadi-jadi keributan yang ada...dan masih ada jutaan makna dari kata diam... diam adalah emas; diam itu tidak tahu apa-apa; diam berarti mengiyakan; diam membisu karena bete; diam-diam mengamati; diam dalam kehampaan; diam karena perasaan rindu, dan lain-lain....Jadi apapun definisinya... hanya kita yang tahu, dan hanya kita yang dapat mengekspresikannya.
Arti kata ‘Tenang’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia antara lain adalah:
Diam tidak berubah-ubah (diam tidak bergerak-gerak), Tidak gelisah, tidak rusuh, tidak kacau, aman, tenteram. Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan. Hati manusia merupakan bagian yang paling menarik bagi Tuhan karena dari hati akan mempengaruhi pikiran, dari pikiran akan mempengaruhi tindakan, tindakan yang dilakukan terus menerus akan menjadi kebiasaan, dan kebiasaan ini akan membentuk karakter, dan karakter ini akan menentukan masa depan kita. Oleh karena itu cara kita memelihara hati itu, sangat menentukan cara kita maju dalam perjalanan hidup. Perhatikan kata “diam” artinya tinggal selama-lamanya di dalam hati, pikiran, perkataan dan tindakan kita.
Diam tidak berubah-ubah (diam tidak bergerak-gerak), Tidak gelisah, tidak rusuh, tidak kacau, aman, tenteram. Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan. Hati manusia merupakan bagian yang paling menarik bagi Tuhan karena dari hati akan mempengaruhi pikiran, dari pikiran akan mempengaruhi tindakan, tindakan yang dilakukan terus menerus akan menjadi kebiasaan, dan kebiasaan ini akan membentuk karakter, dan karakter ini akan menentukan masa depan kita. Oleh karena itu cara kita memelihara hati itu, sangat menentukan cara kita maju dalam perjalanan hidup. Perhatikan kata “diam” artinya tinggal selama-lamanya di dalam hati, pikiran, perkataan dan tindakan kita.
DIAM. Artinya, ketika mengalami suatu kejadian yang menurut keyakinan anda, anda harus Sabar, maka lakukan DIAM. Dalam masyarakat ada berapa suku tertentu di Indonesia, lebih banyak menurut dan lebih banyak diam artinya tidak suka neko-neko.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Diam Sebagai Komunikasi
Diam yang didefinisikan di sini adalah tidak adanya pembicaraan atau komunikasi nyata. Pada umumnya, diam sering diabaikan sebagai bentuk komunikasi dalam Perilaku Organisasi. Hal ini dikarenakan diam menggambarkan tidak adanya tindakan (inaction). Tapi, sesungguhnya diam dapat merupakan bentuk komunikasi yang kuat.
Diam dapat berarti seseorang sedang berpikir atau merenungkan jawaban terhadap pertanyaan, dapat juga berarti seseorang sedang cemas atau takut untuk berbicara. Diam dapat mengisyaratkan kesepakatan, menolak, kecewa, atau marah. Diam dapat merupakan tanda bahwa seseorang merasa terganggu terhadap suatu kondisi, dapat pula mengisyaratkan rasa tidak senang dengan menjauhkan diri.
Kegagalan dalam memberikan perhatian pada bagian DIAM dari percakapan dapat berakibat kehilangan bagian penting dari pesan. Komunikator yang cerdik memperhatikan kesenjangan, jeda, dan keragu-raguan. Mereka mendengarkan dan mengiterpretasikan sikap diam. Mereka memperlakukan jeda (diam) misalnya sebagai analog dengan lampu kuning yang berkelap-kelip di perempatan jalan dan memberi perhatian pada apa yang akan muncul berikutnya. Kadangkala pesan yang nyata dalam komunikasi terkubur dalam DIAM.
Terkadang, dalam sebuah perdebatan kita merasa puas atau merasa menang ketika lawan bicara kita tak lagi melontarkan kata-kata terhadap kata-kata yang kita lontarkan kepadanya. Dan sesungguhnya itu bukan berarti menandakan bahwa perseteruan telah berakhir karena diam bukan berarti menandakan ketidakberdayaan seseorang, bukan pula selalu berarti tidak adanya komunikasi, melainkan ada banyak makna di dalamnya. Dalam diam terdapat strategi dan pemikiran yang tak terlihat. Oleh karena itu ada pepatah yang mengatakan "DIAM-DIAM MENGHANYUTKAN"
Diam adalah emas. Diam dapat menunjukkan kedewasaan dan kebijaksanaan seseorang dalam menghadapi perseteruan dalam sebuah komunikasi. Diam pun dapat merupakan sebuah bentuk penghinaan.
Mungkin sebagian dari kita ada yang tahu lagu jadul dari the tremeloes yang berjudul Silence Is Golden (Diam adalah Emas). Bagi sebagian orang, lagu itu tampaknya mengandung kata-kata yang kontrorersial, tetapi lagu itu justru menunjukkan kekuatan diam ketika kita berkomunikasi. Amatullah Armstrong, seorang Sufi dari negeri kangguru, mengatakan bahwa musik Terindah baginya adalah keheningan malam saat dia berdo’a Kepada Allah.
Lho kok bisa ya orang diam tak berkata-kata apa pun, tapi dianggap berkomunikasi? Ya, bagi para pakar komunikasi, diam termasuk dalam komunikasi non verbal. Komunikasi non verbal adalah komunikasi selain lisan dan tulisan. Konon, 65% komunikasi yang dilakukan manusia adalah komunikasi non verbal. Sedangkan, komunikasi verbal yaitu komunikasi secara lisan, adalah sisannya.
Contoh komunikasi Non verbal misalnya anda seorang wanita cantik yang sedang berjalan kaki disekitar para pria usil, para pria itu mncoba untuk menggoda anda dengan,Hai Cantik? namun, anda diam tak mengindahkan mereka. Sebetulnya, diam anda saat itu adalah komunikasi yang anda sampaikan bahwa Anda tidak suka dengan godaan mereka.
Memang, terkadang diamnya seseorang menunjukkan seribu tanya dan penafsiran. jika seorang dosen bertanya kepada mahasiswanya kemudian dalam waktu yang cukup lama si mahasiswanya diam sebelum menjawab. Si mahasiswa dapat dianggap sedang berfikir untuk dapat menjawab secara akurat berpikir lambat, abnormal, sedang melamun, mempermainkan dosen tidak mengerti pertanyaannya, takut oleh dosen, pura-pura mikir dll.
Contoh yang lain adalah ketika seorang ayah yang diam seribu bahasa ketika menyaksikan anak pertamanya lahir. Diamnya siayah bukan karena tidak dapat menerima kehadiran anaknya, tetapi karena terharu dan tidak bisa berkata apa-apa selain mengungkapkan kebahagiaan dengan air mata. Kata-kata apa pun tidak dapat mewakili ungkapan kebahagiaannya,sehingga hanya berdiam.
2.2. Makna Diam Dalam Komunikasi Non Verbal
1) memberi kesempatan berpikir
Seringkali diam berfungsi untuk memberikan waktu berpikir bagi seorang pembicara. Pembicara diam sesaat untuk berpikir apa yang sebaiknya dibicarakan berikutnya. Dalam rapat misalnya, semua peserta rapat diam. Diam disini dapat berfungsi sebagai memberi kesempatan berpikir kepada peserta rapat. Demikian pula ketika seseorang bertanya kepada seseorang akan diam sesaat sambil menunggu apa jawaban dari orang itu. Tentu saja disini yang bertanya diam untuk memberi kesempatan berpikir.
2) Menyakiti
Diam juga bisa bertujuan untuk menyakiti seseorang. Banyak orang yang suka mendiamkan seseorang yang menjengkelkan. Misalnya dua orang yang bertengkar akan saling mendiamkan. Fungsi lain diam adalah menolak keberadaan dan peran seseorang di dalam suatu kelompok.
3) Mengisolasi diri
Kadangkala diam juga berfungsi sebagai tanggapan seseorang terhadap rasa takut, malu, atau cemas. Misalnya, seseorang merasa cemas dan malu di dalam suatu kelompok orang-orang.
4) Mencegah komunikasi
Dengan diam dapat dimaksudkan sebagai upaya untuk menolak membicarakan hal-hal tertentu. Contohnya, seseorang menolak membicarakan pribadi orang lain. Disamping itu diam juga berarti mencegah seseorang akan melakukan kesalahan atau berbicara salah.
5) Mengkomunikasikan perasaan
Diam juga dapat dimaksudkan memberikan tanggapan-tanggapan emosional. Misalnya seseorang diam untuk menolak dominasi satu terhadap yang lain di dalam hubungan antar pribadi.
6) Tidak menyampaikan ssesuatupun
Seringkali diam terjadi karena di sana tidak ada yang saling berbicara, atau seseorang memang sedang tidak ingin melakukan atau mengatakan apapun.
Kadang kala diam juga dimaksudkan untuk menjaga perasaan orang lain. Misalnya seseorang mengatakan sesuatu yang kurang tepat, orang yang mendengarkan diam saja. Orang lain diam karena segan menyanggahnya, karena dapat menyakiti orang tersebut, atau dapat membuat hubungan selanjutnya menjadi kaku. Diam kadang juga mengekspresikan tidak percaya kepada pernyataan seseorang. Diam dapat juga mengekspresikan rasa diri tinggi. Misalnya, ia tidak perlu menanggapi pernyataan seseorang karena dinilai seseorang itu adalah seorang yang lebih rendah derajatnya (dalam anggapannya tentu saja). Diam dapat juga berarti mengejek atau meremehkan.
Ya, ternyata diam itu banyak memberi informasi dalam komunikasi. Masalahnya, seringkali kita salah menginterpretasikan aksi diamnya seseorang. Dikira menerima, ternyata menolak. Dikira mengejek, nyatanya tidak mendengar.. ha…ha. Ayo, ada lagi nggak arti diam yang belum saya sebutkan. Ayo…, saya tunggu tambahannya.
2.3. Menanggapi Makna Diam Dibudaya Timur Dan Barat
· Diam di Timur
Pandangan orang timur tentang diam berbeda dengan pandangan orang barat. Pada umumnya, orang timur tidak merasat tidak enak dengan diam. Pada umumnya, orang timur tidak merasa tidak enak dengan diam. Bahkan, banyak orang yang banyak bicara. Orang yang menganggap berbicara dapat menjadi sumber masalah. Orang yang banyak bicara banyak salahnya. Begitu katanya. Dengan diam, seseorang dapat memperolah kebaikan, keberaniaan, kesabaran, pencerahan.
Di Indonesia ekspresi diam yang paling nyata ditunjukkan dalam upacara nyepi yang dilakukan umat Hindu di Bali sebagian usah untuk membersihkan seluruh alam beserta isinya dan meningkatkan hubungan akan keselarasan antara manusia dan tuhan, manusia dan manusia serta manusia dan lingkungannya. Diam menjadi bahan perenungan atau konlemplasi untuk evaluasi perbuatan di massa lalu dan berniat memperbaikinya pada masa yang akan dating.
Di Jepang diam berarti penghormatan. Jika menghadapi pertanyaan, pertanda bahwa pertanyaan yang di ajukan cukup penting sehingga karenanya memerlukan pemikiran adalah dengan dim dulu sesaat.
Dengan kata lain, menjawab sesuatu begipertanyaan tanpa ragu, adalah suatu penghinaan karena hal itu berarti pertanyaan tersebut. Begitu sederhana yang tidak memerlukan pemikiran, lebihgawat lagi jika pertanyaan langsung dijawab dan jawaban ternyata ternyata salah.
· Diam Di Barat
Bagi orang barat, diam dapat menjadi aib atau kurang disukai. Bahkan di Negara-negara Arab dan Yunani yang mementingkan interaksi social. Diam dianggap tidak menyenangkan. Bagi mereka, kebahagiaan terbesar adalah ketika bisa ngobrol dengan kawan-kawan mereka menanggap bahwa kebersamaan, percaakapan, bahkan kegaduhan adalah tanda kehidupan yang baik.
Anda memilih diam atau tidakterkadang hal itu menjadi sebuah pilihan yang paling penting saat berkomunikasibaik verbal maupun non-verbal adalah bagaimana setiap apa yang kita sampaikantidak sampai menyakiti orang lain. Bagi yang terbiasa berkomunikasi pedas, jutek, ketus, cemberut dan lain-lain. Maka anda perlu latihan untuk dapat berinteraksi denganlebih sehat.
2.4. Diam Itu Emas
Mengapa engkau diam padahal engkau dimusuhi?”ucap Imam Syafi’i menirukan teguran teman-temannya. “Menanggapi suatu permusuhan”,jawabnya,”sama dengan melakukan kejahatan. Bersikap diam dalam menghadapi orang bodoh merupakan kebajikan. Sebab disalam sikap diam terdapat suatu upaya pemeliharaan kehormatan. Tidakkah engkau tahu bahwa harimau hutan itu ditakuti dan disegani karena ia berdiam diri? Bukankah anjing yang berkeliaran dijalan sering dilempari orang karena ia terlalu banyak menggonggong?”, karena itu imam syafi’i menganggap sikap diamnya sebagai suatu perniagaan, meskipun tak ada untungnya, tetapi paling tidak takkan pernah merugi.
Jadi, diam itu emas, makna sesungguhnya ada disitu, yaitu berdiam diri untuk tidak terjebak melakukan kesalahan yang sama. Inilah yang dimaksud sebagai ‘mengalah untuk menang’.
Tetapi bagaimana kalau orang diam saja terhadap kekeliruan dan kejahatan orang lain? Apakah diam dalam konteks ini dapat dibenarkan? Tentu tidak, orang yang salah harus ditegur dan diperbaiki, bukan sigembar-gemborkan dan dibesar-besarkan kesalahannya.
Ibnu Mas’ud, ketika dibawa kehadapannya seseorang yang dituduh bergelimang dalam minuman keras, lantas ia menegaskan bahwa “Sesungguhnya kami telah dilarang oleh Nabi untuk mencari-cari kesalahan orang, tetapi kalau kami benar-benar mengetahui adanya suatu penyelewengan maka kami pasti akan menghukumnya”(HR. Abu Dawud)
Itu berarti, makna berdiam diri disini pada hal-hal yang tidak mendatangkan kemaslahatan bagi orang banyak. Tetapi tidaklah dimaksudkan untuk diam dan tidak berbuat apa-apa pada saat kemunkaran terjadi, atau harga diri dan kehormatan sesorang terganggu.
Berdiam diri dalam konteks ini tentu tidak boleh, karena pertanda kelemahan. Dikatakan sebagai kelemahan karena tidak mampu menegakkan kebenaran dan membela harga dirinya saat diserang secara tidak beradab. Bangkit dan membela kebenaran juga mempertahankan kebaikan adalah kewajiban asasi manusia.
2.5. Mengapa Pilih Bicara Atau Diam?[1]
“Suatu hari, Mary, ibu mertuaku, meminta waktu untuk berbicara dari hati ke hati. Sudah sebulan hubungan kami agak beku. Dengan kesungguhan, Mary menyatakan bahwa Chris, suamiku, adalah ‘pangerannya’. Chris begitu penting bagi Mary. Mengandung, membesarkan, membiayai, mendoakan, memimpikan setiap hari, itulah yang ada dibenak Mary tentang Chris. Kini aku datang, sebagai menantunya. Dan Chris tampak sangat mencintaiku. Sungguh berat bagi Mary menerima realitas ini. Betapa Mary khawatir dia akan dilupakan buah hatinya. Dinomorduakan. Atau bahkan tidak didengar pendapatnya. karena ada aku! Sekarang aku diam dan paham. Mengapa Mary begitu ’menjengkelkan’ selama ini” begitu penuturan Ratih.
Melalui tulisan ini, saya tidak hendak mengajak anda memasuki romantika pengalaman Ratih maupun Mary. Namun saya ingin mengajak kita menganalisa mengenai keberanian Mary, sang mertua, dalam menyampaikan pendapatnya, dilihat dari konteks budaya. Mungkin kita kerap merasakan kesal ketika orang menunjukkan kesan kurang respek, menghindar, cemberut, membicarakan dibelakang atau sejenisnya. Rina, teman saya bilang, ”orang Jawa itu gitu, kalo ngak suka, ngak langsung bilang. Aku sebel banget deh.”
Saya dengarkan dengan empati. Diam-diam ada rasa ingin mengajak dia membahas hal yang dia ‘jengkelkan’ dari kajian budaya. Dengan geli, saya urungkan niat bahas teori itu. Khawatir dia marah, diajak berfikir toleran, sementara hatinya tengah kesal pada kakaknya.
Jadi, melalui tulisan ini, marilah kita ’have fun’ dengan keberagaman manusia. Memahaminya alasan pilihan individu dan tidak menjadi polisi atas garis batas standar yang kita yakini lebih baik.
Seorang Edward T Hall (1976) dalam risetnya menyimpulkan bahwa ada komunitas yang cenderung menyampaikan pesan atau gagasannya dalam bentuk kata-kata langsung. Komunitas ini disebut berbudaya konteks rendah. Sebaliknya, ada komunitas yang cenderung menggunakan isyarat atau nonverbal, dibandingkan ungkapan kata-kata dalam menyampaikan pesannya. Kelompok ini disebut berbudaya konteks tinggi.
Pilihan penyampaian pesan konteks tinggi dan rendah memiliki latar belakang ’baiknya’. Pada budaya kolektifis, dimana kekerabatan dianggap baik, penyampaian pesan yang menyinggung perasaan seseorang. Kata-kata langsung pada seseorang, mungkin akan menyisakan rasa tidak nyaman pada kakek, bibi, adik, dan saudara sepupunya. Karenanya mereka cenderung tidak bicara langsung, atau memilih diam. Pada budaya individualis, gaya bicara berkonteks rendah cenderung diterima dan dihargai. Masing-masing bertanggung jawab pada diri sendiri. Pembahasan antara dua orang cenderung tidak beresiko panjang pada perasaan kerabat lainnya. Jadi pilihan penggunaan bahasa, sesungguhnya merupakan upaya tanggung jawab dan proses analisa bijaksana dari seseorang yang terekam terus menerus, dan menjadi pola.
Orang Indonesia dan China , cenderung menggunakan budaya berkonteks tinggi. Kata-kata umumnya tak terpisahkan dengan etika dan hubungan sosial. Untuk memahami suatu pernyataan, orang perlu mengerti arti dibalik itu, bahkan sejarahnya. Percakapan biasanya ditujukan untuk menjaga keharmonisan dan kesatuan. Daripada sekedar memuaskan kebutuhan pembicara. Orang berbudaya konteks tinggi, biasanya ada pada masyarakat kolektifis. Mereka cenderung kurang banyak berargumen. Bila ada jawaban yang membuat orang senang, mereka menyampaikannya. Bila tidak menyenangkan, mereka memilih untuk tidak mengatakannya.
Masih ingat stereotype tentang orang Jepang yang menghindari kata ”tidak” ? Tujuannya mulia, yaitu ’to safe face’ orang tersebut. Jadi mungkin sekali bahasa terasa ambiguitas atau bias. Budaya berkonteks tinggi, juga akrab dengan ”diam”. Masih ingat bagaimana ’diam atau senyum’ Presiden Soeharto yang kerap dimaknai beragam. Hanya ’orang dalam’ yang dapat memahami artinya.
Orang Amerika Selatan dan Eropa (Perancis, Jerman, Inggris) cenderung berbudaya konteks rendah. Mereka biasa berbicara secara langsung, singkat dan elaboratif. Bagi orang berbudaya konteks rendah, fungsi utama bahasa adalah untuk mengekspresikan gagasan dan pemikiran secara jelas, logis dan sepersuasif mungkin. Pendengar dan pembicara adalah entitas yang berbeda. Pembicara menunjukkan individualitasnya untuk mempengaruhi yang lain. Sedemikian rupa kata-kata dibuat jelas, dan menghindari adanya bias. Pada kelompok berbudaya konteks rendah, diam, cenderung dihindari. Pembicara yang baik dan kompeten, diharapkan mengatakan apa yang mereka maksudkan dan bersungguh-sungguh. Bila tidak, orang tersebut dianggap tidak jujur atau tidak dapat dipercaya.
Bukti hubungan antara individualis dan kolektifis dengan budaya berkonteks tinggi dan rendah, dapat dilihat pada penggunaan kata ”kami”, ”kita” atau ”saya”. Orang individualis memilih kata ’saya’, karena tidak merasa mewakili pemikiran orang lain. Randy, teman saya, menggerutu tentang penggunaan kata ’kami’ untuk menjelaskan ’saya’ dari orang Indonesia. Dengan logis, dia menghubungkan argumennya pada kajian EYD yang baik dan benar. Memang betul analisa bahasanya. Tapi orang kolektifis, menyebut ’kami’ atau ’kita’ saat bicara, bukan karena tidak paham beda terminologi ’saya’ dan ’kami’. Mereka memilih ’kami’ karena menurutnya, pihak lain layak disertakan dalam tanggung jawab sosialnya. Rasa itu sangat kuat, hingga kadang penggunaannya rancu, bahkan terbawa hingga pernyataan yang seharusnya mewakili pikirannya sendiri.
Memang tidak selalu orang Indonesia memilih kata ’kita’ atau ’kami’ dalam ungkapannya. Pada komunitas yang akrab dengan suasana birokrasi, bapakisme, seperti institusi pemerintahan, atau kelompok tradisional, mereka lebih rajin memanfaatkan kata ’kami’ atau ’kita’ ketimbang pegawai perusahaan multinasional. Padahal sama-sama orang Indonesia . Jadi mereka yang hidup atau terespos dengan budaya konteks rendah, bisa jadi banyak menggunakan pilihan kata langsung dan implisit.
Salah satu alasan yang disebut-sebut menjadi pemicu adanya kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia dan mungkin dinegara-negara lain yang berbudaya serupa adalah karena adanya budaya berkonteks tinggi. Orang yang tidak mampu menyatakan perasaannya secara verbal, membuat dirinya frustasi dan menyalurkannya melalui kekerasan. Baik suami pada isteri atau anak, atau sebaliknya. Tampaknya disini budaya berkonteks rendah lebih sempurna. Namun bila kita nyaman dengan kehidupan kolektifis, resiko sosial akan suatu pernyataan yang eksplisit bisa jadi lebih tinggi.
Apakah seseorang bergaya formal atau tidak formal dalam berbicara, juga bervariasi antarbudaya. Hal ini juga memungkinkan timbulnya kesalahpahaman. Di Jawa dan Sunda, kita tahu bahwa pemilihan kata dilatarbelakangi oleh status sosial berbeda, tingkat keintiman berbeda termasuk pada acara sosial yang berbeda. Orang Amerika mungkin akan melihat orang Jawa adalah orang yang kaku dan aneh. Sementara orang Jawa bisa jadi melihat orang Amerika, kasar, tidak tahu adat atau tidak sopan.
Sebagai penutup saya ingin berbagi pengalaman seorang teman, Ria namanya. Suami Ria, John, suatu ketika mengangkat kaki ketika bersantai menonton televisi bersama keluarga. Meski posisi duduk John jauh dibelakang. Kelihatannya secara etika tidak mengganggu siapapun, namun Ria yang dibesarkan dalam tatakrama Jawa menak, merasa jengah kalau-kalau ayah-ibunya tersinggung. Malamnya Ria diam. John merasa ada sesuatu yang salah. Ria berkata ’tidak ada apa-apa’. Meski demikian, John masih yakin ada sesuatu yang tidak beres. Ria menjelaskan pada saya bahwa dia memilih untuk diam karena menjaga perasaan suaminya. Ria khawatir John malu bila tahu dia ’bersalah’ karena tidak sopan pada orang tuanya.
Saya tidak tahu bagian mana yang dapat dikategorikan lebih sempurna. Bagi saya, semuanya bervisi indah. Namun bila berkenan saya bersaran, bagaimana bila kita melepaskan kotak kepastian dikepala kita, dan melihat konteks dimana kita berada. Dengan bijaksana memilih kata (verbal) dan non kata (nonverbal) yang tepat. Sesuai keadaan. Memang rasanya pilihan kita seharusnya jelas, yaitu menjadi manusia antarbudaya.
2.6. Apa Makna Diam Itu?
Apa yang dianjurkan kepada kita ketika mendapati orang sedang membaca Al-Qur’an ? ya, diam. Apakah diam yang dimaksud? Diam sambil sms-an? Diam memakai handsfree? Diam sambil mengeliyepkan diri sampai tidur?
Ya, ternyata yang dimaksud adalah diam memikirkannya, merenunginya, menelusuri kedalaman relung akal dan belantara hati untuk menemukan hikmah yang selama ini belum tersibak kita untuk menyadarinya.
Lalu, samakah anjuran diam ketika mendengar bacaan Al-Quran dengan diam ketika kita dibuat marah oleh orang? Saya belum tahu jawabannya. Kali ini proses pencarian saya baru pada tahap memahami ternyata ada tingkatan diam menurut versi saya sendiri.
· Diam tingkatan pertama : diam benar-benar diam
Sekalipun diam dalam artian ini adalah diam benar-benar diam, tetapi ini tetaplah diam yang baik asal tidak dalam kondisi darurat, asal tidak dalam kondisi kita sebagai pemegang peranan kunci tunggal yang kalau kita tidak bergerak maka akibat buruk adalah kita penyebabnya.
Diam pada tingkatan ini secara klinis dijelaskan sebagai aktivitas memberi waktu, agar stimulus yang diterima otak kita bisa sampai pada otak bagian belakang, yakni neokorteks. Tanpa diam memberi waktu, akan kurang baik akibatnya, karena sebelum stimulus sampai neokorteks otak sudah disuruh memberi respon, akibatnya yang akan memerintahkan adalah otak primitif (limbik sistem) kita. Maka, respon yang dihasilkan cenderung bersifat gegabah, tidak bijaksana.
· Diam tingkatan kedua : diam karena berpikir
Diam ini, saya belum tahu penjelasan klinisnya, yang jelas ini adalah aktivitas yang secara fisik (tindakan) diam tetapi secara quantum (pikiran) berputar, bergerak tiada henti. Diam tetapi memikirkan gagasan baru, diam tetapi memikirkan solusi untuk membantu menyelesaikan masalah, diam tetapi berkecamuk produktivitas di dunia yang tak kasat mata.
BAB II
PENUTUP
Manusia di lahirkan ke dunia ini adalah sebagai makhluk sosial antara manusia yang satu dengan yang lainnya pasti akan berinteraksi. Interaksi itulah yang dimaksud komunikasi. Macam-macam komunikasi di bagi menjadi dua : Komunikasi verbal adalah komunikasi yang menggunakan lambang kata- kata atau bahasa sebagai medianya baik secara lisan maupun tulisan komunikasi non verbal adalah pesan atau informasi yang tidak disampaikan melalui lisan maupun tulisan tetapi menggunakan gerakan tubuh.
Demikian makalah ini kami susun, semoga dengan ini kami harapkan kiranya bisa bermanfaat bagi kita semua. Semoga hidayah dan inayah Allah selalu menyertai kita dalam segala hal yang positif dan berlebih untuk kita sendiri. Amien
DAFTAR PUSTAKA
Effendy, Onong U. 1989, Kamus Komunikasi, Bandung , Mandar Maju
Riswandi, 2009. Ilmu Komunikasi. Jogyakarta ; Graha Ilmu
Mulyana, Deddy. 2001. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung , PT. Remaja
Rosdakarya
http://www.kpcmelaticenter.com/id/pernak-pernik-perkawinan-campuran/mengapa-pilih-bicara-atau-diam.html
[1] http://www.kpcmelaticenter.com/id/pernak-pernik-perkawinan-campuran/mengapa-pilih-bicara-atau-diam.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar